Senin, 27 Juni 2011

wahyuningsi bluekerz

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sumber Daya Alam yang meliputi tumbuhan, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan Daerah maupun Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan dengan memperhatikan kelestariannya.
Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam adalah kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah satu sektor penyumbang devisa Negara yang terbesar.
Penambangan dilakukan dengan sistem tambang terbuka (Surface mining) yakni dengan cara memotong pungung bukit (Open cut Mining) merupakan salah satu dari serangkaian pentahapan kegiatan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia dan biologi seperti bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi dan habitat fauna, dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan ini harus dikelola untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan.
Dampak negatif dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan antara lain:
1.      Kesuburan tanah dapat berkurang / hilang
2.      Mengurangi vegetasi, sehingga dapat menimbulkan kegundulan hutan, longsor dan erosi
3.      Flora dan fauna rusak, sehingga ekologi juga rusak
4.      Mencemari sungai
5.      Polusi suara dan udara (debu dan kebisingan)
Dampak tersebut perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan di luar batas kewajaran. Oleh karena itu perlu adanya penataan yang tepat dalam suatu usaha untuk memperbaiki/memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat aktivitas penambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Reklamasi merupakan suatu usaha memperbaiki (memulihkan kembali) lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Mengetahui peremcanaan alternatif pemanfaatan lahan.
2.      Mengetahui perencanaan program atau kegiatan dalam setiap tahapan kegiatan reklamasi.

1.3  Batasan Masalah

Adapun dalam kegiatan kerja praktek ini, batasan masala yang diambil yaitu; perencanaan alternatif pemanfaatan lahan bekas tambang dan metode dalam setiap tahapan kegiatan reklamasi.
1.4  Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk memahami, mengetahui serta  memperoleh kesimpulan dalam merencanaka lahan bekas tambang pada PT Yudistira Bumi Bakti.           

1.5  Manfaat Kerja Praktek
a.    Untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti khususnya tentang perencanaan reklamasi lahan bekas tambang dan metode dalam setiap tahapan kegiatan reklamasi. Disamping itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang reklamasi lahan bekas tambang serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan topik yang sama.
b.   Hasil kerja praktek ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pihak perusahaan terutama PT Yudistira Bumi Bakti maupun bagi praktisi tambang kaitannya dengan reklamasi lahan bekas tambang








BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1  Lokasi dan Kesampaian Daerah

Tanjung Buli terletak di Kecamatan Maba Selatan,  Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara. Secara Geografis penambangan bijih nikel PT. Yudistira Bumi Bhakti terletak antara 128º 15  128º 21 Bujur Timur  sampai dengan 00o 45 – 01o 00 Lintang Selatan (Gambar 2.1). proyek penambangan bijih nikel daerah Tanjung Buli dimulai sejak tahun 2001, daerah penambangan dimiliki sepenuhnya oleh PT. Aneke Tambang, tbk dan dikerjakan oleh PT. Yudistira Bumi Bhakti karena memenangkan tender sebagai konteraktor, PT. Yudistira Bumi Bhakti berkewajiban untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh PT. Aneka Tambang sesuai dengan keperluan konstumer.  
Untuk mencapai lokasi dapat ditempuh dengan menggunakan alat transportasi laut dan  udara melalui rute sebagai berikut:
Jakarta – Makassar – Ternate.
Menggunakan pesawat udara dengan rute penerbangan setiap hari. Waktu tempuh 180 menit dari Jakarta dan 75 menit dari Makassar dan untuk kapal Pelni yaitu KM Lambelu dan KM Sinabung dengan waktu tempuh 150 jam dari Jakarta dan 65 jam dari Makassar, dengan rute pelayaran dua kali sebulan.    
Ternate – Buli 
Menggunakan pesawat udara Merpati waktu tempuh 30 menit dengan rute pelayanan tiga kali seminggu. Dan angkutan laut yaitu Kapal Motor Nurjaya I dengan rute pelayanan satu kali dalam seminggu, dengan waktu tempuh 22 jam.
Buli – Tanjung Buli (Epa)
Dengan menggunakan angkutan darat mobil dan sepeda motor dengan waktu tempuh 30 menit dan untuk angkutan laut  kapal Swisco dan speed boat dengan waktu tempuh 1 jam.
Peta Tunjuk YBB
Sumber: PT. Yudistira Bumi Bhakti

Gambar 2.1
Peta Lokasi Penelitian

2.2  Geologi Regional Halmahera

Daerah Halmahera dibagi atas beberapa mandala geologi dan fisiografi yang berada dalam satuan batuan dan tektoniknya. Antara mandala geologi dan fisiografi mempunyai hubungan yang erat terutama karena satu jenis satuan batuan akan menghasilkan fisiografi tertentu, sehingga antara mandala geologi dan fisiografi kadang kala adalah sama.
Pulau Halmahera dibagi menjadi dua mandala geologi yaitu mandala geologi Halmahera Timur dan mandala geologi Halmahera Barat (T. Apandi dan D. Sudana 1986). Mandala geologi Halmahera Timur meliputi semua daerah yang termasuk mandala fisiografi Halmahera Timur, termasuk Pulau Pakal. Mandala ini terletak dalam Circum Pacific Orogenic Belt, yang betuan dasarnya terdiri dari Pra-Tersier (strata uppermesozoic sampai dengan lower tersier).
Sebagian Halmahera Timur merupakan daerah singkapan batuan ultrabasa yang menjadi sumber pelapukan laterit. Daerah ini meliputi Halmahera Tengah dan sebagian lengan timur laut, termasuk daerah Pulau Pakal. Batuan sedimen yang tersingkap dipermukaan pada sebagian daerah Halmahera Timur yang lainnya juga diperkirakan menutupi batuan ultrabasa secara tidak selaras.
Batuan tertua pada mandala geologi Halmahera Timur secara dibentuk oleh satuan batuan ultrabasa yang sebenarnya cukup luas dan satuan batuan beku basa yang mengintrusi satuan batuan ultrabasa, serta satuan batuan beku intermediate yang mengintrusi kedua satuan batuan sebelumnya. Secara tidak selaras, batuan tertua ini ditutupi oleh formasi-formasi dan satuan batuan berikutnya. Urutan formasi batuan pada daerah Halmahera Timur dari tua ke muda dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini:
a.       Satuan Batuan Ultra Basa terdiri dari serpentinit, piroksenit dan dunit, umumnya berwarna hitam atau hitam kehijauan, getas, terbreksikan, mengandung asbes dan garnerit. Pada satuan ini teramati batuan metasedimen dan rijang, posisinya diantara sesar dalam batuan ultra basa.Satuan batuan ini oleh Bessho, 1994, dinamakan Formasi Watileo (Watileo Series), hubungannya dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang ketidakselarasan atau bidang sesar naik.
b.      Satuan Batuan Beku Basa, terdiri dari gabro piroksen, gabro hornblende dan gabro olivine, tersingkap di dalam komplek Satuan Batuan Ultra Basa dan ini dinamakan Seri Wato-wato( Bessho,1944)
c.       Satuan Batuan Intermediate, terdiri dari batuan diorit kuarsa dan diorit hornblende, tersingkap juga dalam komplek batuan ultra basa. Selain itu teramati sejumlah retas andesit dan diorit yang tidak terpetakan  di daerah Formasi Bacan.
d.      Satuan Batugamping, dengan batuan yang lebih tua (ultra basa) oleh ketidakselarasan dan dengan batuan yang lebih muda oleh sesar, tebal kurang lebih 400 meter. Satuan ini berumur Paleosen - Eosen
e.       Formasi Dodaga, formasi ini tersusun oleh serpih berselingan dengan batu gamping cokelat muda dan sisipan batu rijang. Selain itu ditutupi pula oleh batuan yang berumur Paleosen-Eosen yaitu formasi dorosagu, satuan konglomerat dan satuan batugamping. 
f.       Formasi Dorosagu, terdiri dari batupasir berselingan dengan serpih merah dan batugamping. Hubungan dengan batuan yang lebih tua (ultra basa) berupa ketidakselarasan dan sesar naik, tebal ± 250 meter. Formasi ini diduga  berumur Paleosen – Eosen.
g.      Satuan Konglomerat, tersusun oleh batuan konglomerat dengan sisipan batupasir, batulempung dan batubara yang tebalnya lebih dari 500 meter. Satuan ini berumur Kapur Atas.
h.      Formasi Bacan, tersusun oleh batuan gunungapi berupa lava, breksi, dan tufa dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Oleh adanya sisipan batupasir dapat diketahui umur Formasi Bacan yaitu Oligosen – Miosen Bawah.
i.        Formasi Weda, terdiri dari batupasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat dan batugamping. Formasi Tingteng. Formasi ini identik dengan Weda series ( Bessho, 1944 ). Formasi ini berumur Miosen Tengah – Awal Pliosen
j.        Satuan Konglomerat, berkomponen batuan ultra basa, basal, rijang, diorit, dan batusabak tebal ± 100 meter, menutupi satuan batuan ultra basa secara tidak selaras, diduga berumur Miosen Tengah – Awal Pliosen.
k.      Formasi Tingteng, tersusun oleh batugamping hablur dan batugamping pasiran dengan sisipan napal dan batupasir, berumur Akhir Miosen – Awal Pliosen, tebal ± 600 meter.
l.        Formasi Kayasa, berupa batuan gunungapi terdiri dari breksi, lava dan tufa diduga berumur Pliosen.
m.    Satuan Tufa, utamanya tufa batuapung berwarna putih dan kuning.


PETA GEO HALTIM-HALTENG
Sumber: Pusat Sumber Daya Geologi (Inventarisasi Bahan Galian Hal-Tim)
Gambar 2.2
Peta geologi regional Halmahera Timur

2.3  Geologi Daerah Penelitian

Endapan bijih nikel yang ditemukan di daerah Tanjung Buli adalah termasuk nikel yang terbentuk oleh hasil pelapukan batuan ultrabasa. Struktur yang penting dalam pebentukan endapan bijih nikel adalah rekahan (joint) dan patahan (fault). Adanya patahan dan rekahan ini akan mempengaruhi dan mempermudah rembesan air kedalam tanah dan akan mempercepat proses pelapukan terhadap batuan induk. Selain itu rekahan dan patahan akan dapat juga berfungsi sebagai tempat pengendapan larutan  yang mengandung Ni sebagai urat-urat atua vein. Pulau-pulau di sekitarnya merupakan suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil tabrakan lempeng di bagian barat Pasiifik, daerah ini dicirikan oleh “Double Arc System” artinya dibuktikan oleh vulkanik di lengan barat dan nonvulkanik di lengan timur. Secara geologi dan tektonik, Halmahera cukup unik, karena pulau ini terbentuk akibat tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia. Di bagian Selatan Halmahera terdapat zona sesar Sorong yang merupakan “Strike Slip Fault”. Sepanjang zona sesar ini, Halmahera bergerak ke arah barat bersama dengan lempeng Indo-Australia. (Hamilton,1979).

2.4  Keadaan Geologi Daerah Penelitian

      Endapan bijih nikel yang ditemukan di daerah Tanjung Buli adalah termasuk nikel yang terbentuk oleh hasil pelapukan batuan ultrabasa. Struktur yang penting dalam pebentukan endapan bijih nikel adalah rekahan (joint) dan patahan (fault). Adanya patahan dan rekahan ini akan mempengaruhi dan mempermudah rembesan air kedalam tanah dan akan mempercepat proses pelapukan terhadap batuan induk. Selain itu rekahan dan patahan akan dapat juga berfungsi sebagai tempat pengendapan larutan  yang mengandung Ni sebagai urat-urat atua vein. Pulau-pulau di sekitarnya merupakan suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil tabrakan lempeng di bagian barat Pasiifik, daerah ini dicirikan oleh “Double Arc System” artinya dibuktikan oleh vulkanik di lengan barat dan nonvulkanik di lengan timur. Secara geologi dan tektonik, Halmahera cukup unik, karena pulau ini terbentuk akibat tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia. Di bagian Selatan Halmahera terdapat zona sesar Sorong yang merupakan “Strike Slip Fault”. Sepanjang zona sesar ini, Halmahera bergerak ke arah barat bersama dengan lempeng Indo-Australia. (Hamilton,1979).
Profil lapisan bijih laterit nikel daerah Tanjung Buli dapat digambarkan sebagai berikut :
1.      Lapisan Tanah Penutup (Over Burden)
Lapisan ini terletak di bagian atas permukaan, material berwarna coklat kemerahan  dan banyak akan tanaman lunak tekstur batuan asal tidak dikenali, Memiliki  kadar air 25% sampai 35%.
2.      Lapisan Limonit Berkadar Menengah (Medium Grade Limonite)
Lapisan terletak di bawah lapisan tanah penutup, berwarna merah, berukuran lempung sampai pasir, berkadar air rata-rata 35%, kadar nikel 1,3% sampai 1,48%, Fe 32,50% sampai 50,20% lapisan ini mempunyai ketebalan 1 – 3 meter.
3.      Lapisan Bijih (Ore)
Lapisan ini merupakan batuan peridotit, berwarna kuning kecoklatan agak kemerahan, terletak dibawah dari  Medium Grade Limonite dan tempat terakumulasi Ni tekstur batuan asal sudah dapat terlihat dengan ketebalan  5 – 8 meter. Lapisan ini terdapat bersama batuan yang keras atau rapuh sebagian saprolit. Berdasarkan kandungan fragmennya zona ini dibagi menjadi dua yaitu Soft Saprolit dan Hard Saprolit mengandung fragmen-fragmen berukuran bolder masing-masing kurang dari 25% dan lebih dari  50% dengan kadar rata-rata Ni 2,16% - 3,2%, Fe 5,80 – 17,10%
4.      Lapisan Batuan Dasar (Bed Rock)
Lapisan ini merupakan batuan asal (batuan beku ultrabasa), pada umumnya batuan ini berupa bongkahan-bongkahan massive, berwarna kuning pucat sampai abu-abu kehijaun. Tekstur batuan telah sama dengan tekstur batuan asal dan kekar – kekar umumnya terisi oleh urat garnierite dan silika. Ketebalan dari masing-masing dari lapisan tidak merata.   
2.1    Genesa Endapan Bijih Nikel
2.1.1     Proses Terbentuknya Endapan Bijih Nikel
Endapan bijih nikel yang terdapat di daerah penelitian termasuk jenis nikel laterit, yang terdiri dari hasil pelapukan batuan ultrabasa. Pembentukan nikel laterit umumnya langsung mengalami proses serpentinisasi oleh larutan hydrothermal atau larutan residual pada waktu proses pembentukan magma.
Menurut Bolt (1979), kandungan yang terdapat pada batuan peridotit adalah seperti pada tabel berikut ini:
Batuan
Nikel (%)
Besi Oksida + Magnesium (%)
Aluminium + Silika + (%)
Peridotit
Gabro
Diorit
Granit
0,2000
0,0160
0,0040
0,0020
43,5
16,6
11,7
4,4
45,9
66,1
33,4
78,7








Tabel 2.1
Batuan Asal Bijih Nikel

Proses terbentuk dimulai dari peridotit sebagai batuan induk yang mengandung nikel primer 0,20%. Batuan ini terdiri dari olivine yang mengandung unsur-unsur Mg, Fe, Ni dan Silika. Batuan induk ini akan berubah menjadi serpentin karena pengaruh larutan hydrothermal pada proses serpentinisasi.
Selanjutnya terjadi proses pelapukan dan laterit yang menghasilkan serpentin datar peridotit lapuk. Batuan asal yang mengandung unsur-unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni dan Co akan mengalami dekomposisi. Air tanah yang kaya Co2 dari udara dan hasil pembusukan tumbuh-tumbuhan merupakan pelarut yang baik. Yang pertama-tama terlarut dalam unsur Ca dan Mg Alkalin yang disusul dengan penghancuran senyawa-senyawa silica sebagai koloid. Semua hasil penghacuran ini terbawa oleh larutan yang turun ke bagian bawah mengisi celah-celah dan pori-pori batuan.
Bahan-bahan yang sukar atau tidak mudah larut akan tinggal pada tempatnya dan sebagian turun ke bawah bersama larutan sebagai larutan koloid. Bahan-bahan ini membentuk konsentrasi residu dan konsentrasi celah, konsentrasi residu seperti Fe, Ni, Co dan Si pada zona yang disebut dengan zona saprolit.

Gambar 2.2
Bagan Endapan Bijih Nikel Laterit
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Pengertian Reklamasi
         Reklamasi menurut Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211K/M.PE/1995, pasal 1 butir C adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki dan menata lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha penambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya sesuai dengan peruntukannya.
3.2 Tujuan Reklamasi Daerah Bekas Tambang
Menurut ”US Surface Mining and Reclamation Act of 1977”, tujuan reklamasi daerah bekas tambang adalah sebagi berikut :
  1. Penyelamatan tanah lapisan atas
  2. Stabilitas lahan
  3. Pencegahan erosi
  4. Penanaman kembali, sehingga memberikan vegetasi yang memuaskan.

2.3 Tahapan-Tahapan Reklamasi
3.3.1 Perbaikan sifat fisik lahan
Kegiatan penambangan yang digunakan dengan cara tambang pilih (selectif Mining) mengakibatkan lahan pada kondisi rusak. Untuk memperbaiki kembali lahan yang telah rusak tersebut, dilakukan dengan jalan penimbunan dan penggusuran. Tanah timbunan diperoleh dari sekitar daerah tersebut atau dari tempat penimbunan tanah penutup yang ditimbun pada saat pengupasan sebelum penambangan.
3.3.2 Perbaikan sifat kimia tanah
Perbaikan sifat kimia tanah, sebagai berikut :
       -    Penyebaran tanah humus (Top soil)
-     Pemupukan
3.3.3 Penirisan
Penirisan adalah suatu upaya untuk mencegah, mmengeringkan dan mengeluarkan atau menggenangi suatu daerah tertentu.Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan penirisan antara lain :
a.       Curah hujan
b.      Air limpasan hujan
c.       Luas daerah tangkapan hujan
3.3.4 Penanaman
            Faktor-faktor penunjang penanaman, antara lain :
3.3.4.1 Unsur Hara Tanah
Diketahui bahwa tanaman membutuhkan beberapa macam unsur dalam pertumbuhannya. Unsur-unsur tersebut dibutuhkan dalam jumlah besar yaitu C, H, O, N, S, P, K, Ca, mg, dan Fe, sedangkan dalam jumlah kecil Mn dan Zn.
3.3.4.2  Keasaman Tanah
 Keasaman tanah sangat berpengaruh terhadap tersedia atau tidaknya unsur hara tanaman. Dalam hal ini kita mngenal PH tanah yaitu suatu ukuran terhadap keasaman suatu tanah.




















BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian
                      
          Dalam sebuah penelitian ilmiah ada banyak metode yang digunakan untuk melancarkan suatu proses penelitian, dalam penelitian ini sesuai dengan judul yang diangkat, maka metode yang digunakan adalah kuantitatif. Dimana hasil penelitian disusun secara deskriptif sesuai pengamatan secara objektif dilapangan. Selanjutnya dilakukan penyusunan data sesuai dengan persamaan yang ada, sedangkan data yang diambil untuk kepentingan penelitian ini adalah data sekunder.
Data primer merupakan data yang dijadikan subyek dalam pengolahan data dilapangan misalnya data yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan metode yang digunakan.
Data sekunder adalah sejumlah data yang menjadi pertimbangan seperti data lokasi kesampaian daerah, data geologi daerah penelitian, dan lain-lain. Adapun metode pengambilan data yang digunakan meliputi :

4.1.1  Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan studi literatur yang bertujuan sebagai penunjang dalam penyelesaian studi kasus pada proses penelitian serta pemilihan judul yang akan menunjang dalam proses pembuatan laporan.

4.1.2  Survei Lapangan

Pada tahap selanjutnya dilakukan survey lapangan yang tujuannya agar hasil survey tersebut dapat diambil suatu wacana atau masalah/studi kasus yang menjadi objek penelitian.

4.1.3  Tahap Pengambilan Dan Analisa Data

Pengambilan data dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan primer. Analisa dilakukan berdasarkan pada data hasil pengamatan kegiatan eksplorasi yang didapatkan.

4.1.4  Tahap penyelesaian Dan Penyajian Data

Tahap ini adalah tahap dimana data-data primer hasil proses pekerjaan/pengamatan langsung dengan objek di input ke dalam komputer yang selanjutnya diolah menjadi data sekunder.